MENYOAL TINDAK LANJUT KPU TERKAIT KETERWAKILAN PEREMPUAN 30% PADA PENCALONAN ANGGOTA LEGISLATIF PASCAPUTUSAN MA
Abstract
Keterwakilan aspirasi perempuan dapat dicapai dengan hadirnya tokoh perempuan di parlemen. Namun realitanya, di Indonesia terjadi kesenjangan antara laki-laki dan perempuan pada pemberdayaan politik yang mencapai level 16,4%. Kondisi demikian memerlukan hukum sebagai jaminan yuridis untuk menjadi alat rekayasa sosial agar angka partisipasi politik perempuan dapat meningkat. Namun dengan adanya norma yang terdapat pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023 pada pasal 8 ayat (2) yang menyatakan “kurang dari 50 (lima puluh), hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah” menimbulkan kekhawatiran publik terhadap akan semakin meningkatnya kesenjangan perempuan. Sehingga norma ini pada berikutnya diajukan ke Mahkamah Agung dan telah dinyatakan bertentangan dengan UU Pemilu. Tindak lanjut dari KPU terhadap putusan tersebut adalah dengan dikeluarkannya surat dinas ke partai politik. Surat dinas yang dikeluarkan oleh KPU ini yang kemudian diperlukan kajian yang komprehensif. Dengan menggunakan metode penelitian normatif melalui dua pendekatan yaitu pendekatan Perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Dari hasil penelitian, ditemukan bahwasanya surat dinas yang dikeluarkan oleh KPU terhadap partai politik tidak memiliki daya hukum yang mengikat, karena surat dinas tidak terdapat dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3). Sehingga merevisi PKPU adalah solusi ideal dalam menyikapi putusan MA. Dan dengan merevisi PKPU, mekanisme pembulatan ke atas pada penghitungan 30% keterwakilan perempuan juga akan memenuhi teori kebenaran hukum.
Downloads
Published
Issue
Section
License
Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang keras mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi jurnal ini tanpa izin tertulis dari penerbit.